Kamis, 08 Januari 2009

ORANG TU A JUGA PERLU GAUL

DALAM satu kesempatan diskusi mencari jati diri anak muda, salah satu mahasiswi dengan enteng menyatakan bahwa maraknya hubungan seks di kalangan anak muda hanya persoalan tren. Menurut dia, anak muda dianggap tidak nge-tren kalau tidak berani berhubungan seks.
Pernyataan lugas tersebut pasti membuat banyak orangtua mengerutkan dahinya. Bahkan orang dengan mudah langsung menyalahkan si gadis ini, tanpa menyadari bahwa gadis tersebut cerminan dari kita sendiri sebagai masyarakat.


Tidak kalah menarik, ketika persoalan ini saya konfirmasikan pada generasi orangtua yang terpelajar, seorang dosen, berpendidikan doktor. Dengan yakin dia mengatakan bahwa persoalan tersebut hanya ada di tayangan televisi, tidak benar itu terjadi di kalangan anak muda kita.
Anak muda dan orangtua, sering

kali tidak bisa ketemu dalam ide, pemikiran, dan pendapat sehingga perselisihan antara orangtua dan anak menjadi bagian dari keseharian kita. Beberapa kali media memberitakan orangtua yang melaporkan anaknya hilang diculik ke polisi. Beberapa pekan kemudian, terungkap bahwa sang anak lari dari rumah karena berselisih dengan orangtua.
Orangtua masih meyakini bahwa putra-putrinya akan aman dengan bentuk ancaman, larangan, dan perintah agama yang mereka wariskan, sementara anak muda selalu mencari celah untuk menikmati berbagai ruang sosial dengan perjuangan berat mempertahankan nilai-nilai warisan keluarga dan masyarakat.
Mungkin saja obligasi keluarga dan kode-kode tradisional tentang perilaku termasuk yang terkait dengan nilai-nilai religiusitas masih sering diberlakukan di rumah. Namun, di luar rumah, anak muda digoda oleh lingkungan sosial yang lain sama sekali. Mereka mengalami keretakan atau putusnya pola hierarki dan otoritas yang berasal dari sejarah feodalisme, dan struktur lokal yang konvensional. Perubahan ini membuat anak muda mengalami disorientasi, tetapi sekaligus juga memberi kemungkinan yang menggairahkan di mana otonomi dan kebebasan menjadi lebih besar.
Bagi anak muda saat ini, persoalan narkoba hingga seks bebas bisa saja didapatkan di mana saja, bahkan di rumah orangtuanya sendiri sekalipun memungkinkan untuk mereka dapatkan, apalagi banyak orangtua di jaman ini lebih sibuk di luar rumah. Tidak perlu tempat kos, kafe, ataupun kelab malam, kalau mereka mau, mereka bisa mendapatkannya di rumah, demikian pengakuan yang sering terlontar dari mereka.
Artinya, akar permasalahannya bukan terletak pada faktor eksternal, tetapi lebih pada faktor internal yang berkaitan dengan pengendalian diri dan penghayatan nilai. Faktor eksternal seperti pengaruh media, perkembangan teknologi informasi, dan perubahan gaya hidup menjadi kekuatan yang tak terbendung saat ini. Sebuah upaya yang tidak mungkin dilakukan oleh orangtua ataupun negara untuk melokalisasi generasi muda dan menjadikannya steril dari itu semua.
Karenanya, pendekatan normatif yang mengasumsikan hanya ada dunia hitam dan putih, dosa dan tidak dosa, ancaman-larangan dan perintah, sama sekali tidak akan bisa menjawab persoalan mereka. Alih-alih malah membuat jurang pemisah antara orangtua dan anak muda semakin besar. Jurang pemisah yang semakin besar membuat pendidikan nilai dan pembelajaran dalam pengendalian diri hanya sekadar mimpi yang tidak mungkin diwujudkan.
Sudah saatnya orangtua membongkar kotak hitam dan putihnya untuk lebih memahami dunia plural anak muda. Sudah saatnya orang tua menjadi ‘gaul’ dengan dunia anak muda dan memahaminya dari cara sang anak muda memahaminya.
Pemahaman yang lebih tepat dan kontekstual atas kondisi anak muda akan menjadi tiket masuk ke dunia mereka, untuk kemudian akan lebih mudah mengajaknya melakukan pemaknaan ulang atas berbagai hal yang mereka hadapi. Selalu mengatakan ‘tidak’ pada anak muda hanya akan menutup semua akses masuk ke dunia mereka.
Jangan pula mencoba bertindak sebagai polisi yang siap mengawasi mereka selama 24 jam karena hal itu tidak mungkin. Menjadi sosok yang bersahabat dan memiliki pemahaman yang tepat tentang anak muda dan dunianya akan lebih mempermudah proses pendampingan untuk mereka.
Ada satu kisah menarik tentang kelompok remaja yang sedang menikmati sebuah konser grup band. Ternyata mereka menonton dengan ditemani para ibunya yang juga menikmati konser di belakang kerumunan penonton. Uniknya, mereka (para ibu dan anak-anaknya) ini berangkat dan pulang bersama. Hanya saja saat menikmati konser mereka memilih posisi tempat yang berbeda. Terlihat kekompakan antargenerasi dalam kisah tersebut.
Ketika anak-anaknya bergabung dalam satu kelompok geng yang intensif, maka para ibunya segera pula membentuk kelompok di antara para ibu yang anaknya satu kelompok geng pula. Jalinan relasi ini ternyata menjadi jaringan pengaman yang cukup strategis bagi generasi muda, di mana orangtua dapat mengawasi anak tanpa si anak merasa diawasi. Orangtua ini hadir sebagai sahabat yang bukan saja mengerti tetapi juga terlibat dalam ruang sosial yang dilibati anaknya.
Yang terpenting adalah kesediaan orangtua untuk menjadi tokoh panutan sesuai dengan selera anak muda, tidak harus menjadi nyentrik, tetapi cukup ’gaul’ dengan pandangan yang terbuka dan bersedia untuk mendiskusikan banyak hal. Untuk kemudian akan lebih mudah mengajak mereka melihat secara lebih kritis berbagai tawaran dunia luar.
Pengasuhan yang lebih membebaskan sekaligus meminta pertanggungjawaban, suportif sekaligus menuntut, memberi batasan yang tegas dan jelas sekaligus kesempatan yang luas untuk menemukan batasannya bersama justru lebih membantu mereka menghadapi pengaruh kuat dunia luar yang beragam./*
Dr. Christina Siwi Handayani
Staf Pengajar Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.


1 komentar: